Ogiandhafiz Juanda S.H., LL.M., C.L.A., C.P.Arb., C.M.L., C.Me., C.M.L.C

Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional & HAM Universitas Nasional (UNAS)

Direktur Treas Constituendum Institute

Artikel ini dipublish di Koran Sindo – 17 November 2021

Republik Vanuatu melalui Perdana Menterinya Bob Loughman Weibur kembali menyampaikan kritik terhadap persoalan Hak Asasi Manusia di Papua. Hal itu disampaikan dalam pidatonya pada forum internasional Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Minggu, 26 September 2021. 

Kritikan terhadap persoalan HAM Papua ini bukanlah yang pertama kali. Karena sejak tahun 2016, Republik Vanuatu bersama dengan sejumlah negara kepulauan pasifik lainnya selalu menggunakan forum debat utama tahunan PBB ini untuk mengkritik catatan HAM Indonesia di Papua (Papua dan Papua Barat). 

Ikut terjebak

Sebagai salah satu ruang pertemuan terbesar para pemimpin dunia, Sidang Majelis Umum PBB menjadi bagian penting dari agenda diplomatik tahunan.  Dan merupakan Forum yang sangat strategis untuk dapat berdiskusi dan bernegosiasi mengenai pelbagai tantangan yang sedang dihadapi oleh dunia. 

Sekaligus juga menjadi kesempatan bagi negara-negara untuk dapat menyampaikan pandangan dan masukannya terhadap sejumlah persoalan yang bersifat kemanusiaan.

Pada tahun ini, tema yang diusung adalah “Building Resilience Through Hope – To Recover From Covid-19, Rebuild Sustainably, Respond to the Needs Of the Planet, Respect the Rights of the People, and Revitalize the United Nations”.

Tema tersebut cukup menggambarkan apa saja ikhwal yang menjadi tantangan yang sedang dihadapi dunia saat ini. Mulai dari pandemi Covid-19, pelestarian lingkungan, perubahan iklim, kemiskinan dan kesenjangan sosial, persoalan HAM, hingga masalah konflik yang masih terus terjadi di pelbagai belahan dunia.

Dari tema tersebut juga sebenarnya publik sudah dapat menebak bahwa Republik Vanuatu akan kembali menggunakan forum sidang Majelis Umum PBB ke-76 ini untuk menyinggung persoalan HAM di Papua, Indonesia.

Perdana Menteri Republik Vanuatu dalam pidato yang ia sampaikan secara virtual mengatakan bahwa masyarakat Adat Papua masih secara terus menerus mengalami penderitaan dan pelanggaran HAM yang serius. Sehingga, ia menyerukan kepada kantor komisaris HAM PBB untuk segera mengunjungi Papua agar dapat melakukan penilaian secara independen dan menyeluruh terhadap situasi HAM di sana. Ia juga sempat menyinggung persoalan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) yang belum juga dapat dinikmati oleh masyarakat Papua. 

Menjawab hal tersebut, Sekretaris ketiga perwakilan tetap RI di Newyork, Sindy Nur Fitri memberikan respon yang difensif dengan mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh PM Vanuatu tersebut merupakan tuduhan yang bermuatan politis, serta mengandung niat dan tujuan yang sangat buruk yang dapat menggangu kedaulatan dan keutuhan wilayah negara indonesia. 

Sebagian besar masyarakat Indonesia tampaknya juga ikut terjebak dalam jawaban yang disampaikan oleh perwakilan indonesia tersebut yang terkesan sangat luar biasa dan sempurna.

Persoalan kolektif

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan intrumen universal negara-negara di dunia, isu HAM secara eksplisit ditempatkan pada klasula pertama (pasal 1) yang mimiliki makna filosofis bahwa isu HAM merupakan isu yang sangat vital, mendasar  dan utama.

Sehingga tidaklah mengherankan jika isu HAM seringkali “diinternasionalisasikan” dan dijadikan sebagai agenda global yang di bahas di forum-forum Internasional sebagai wujud dari besarnya perhatian Masyarakat Internasional terhadap masalah HAM pasca perang dunia ke-2. Hal tersebut juga merupakan bentuk realisasi dari pasal 1 piagam PBB yang mengharuskan negara anggota PBB untuk dapat memajukan dan memberikan penghormatan terhadap HAM.

Dalam perkembangan politik dan hubungan Internasional kontemporer, kritikan terhadap persoalan HAM suatu negara oleh negara lain telah menjadi sebuah praktik yang wajar. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai bentuk tindakan dan tekanan yang dilakukan oleh sejumlah negara termasuk Indonesia dalam kasus Rohingya di Myanmar, Etnis Uighur di China, konflik Palestina, Serta terhadap etnis minoritas lainnya yang mengalami penindasan dan pelanggaran HAM. 

Praktik seperti itu secara tidak langsung mengindikasikan bahwa isu HAM memang telah menjadi isu yang terbuka, dan tidak lagi menjadi persoalan dalam negeri suatu negara yang tidak boleh diintervensi. Dengan demikian, adanya kritikan yang disampaikan oleh Republik Vanuatu terhadap persoalan HAM di Indonesia seharusnya juga tidak menjadi satu persoalan. Apalagi kalau hal itu dilakukan dengan tujuan untuk mendorong adanya penegakan dan penghormatan terhadap HAM di indonesia.

Akan tetapi dalam kacamata Pemerintah Indonesia, seperti apa disampaikan oleh perwakilannya dalam hak jawabnya pada 26 September 2021, bahwa Republik Vanuatu telah dianggap melakukan tindakan yang tidak bersahabat dan bertentangan dengan prinsip hukum Internasional tentang hubungan persahabatan dan kerjasama antar negara. Hal tersebut juga dianggap sebagai bentuk mencampuri (intervention) urusan dalam negeri  yang dapat menggangu kedaulatan dan integritas Wilayah negara indonesia.

Padahal, Prinsip tidak mencampuri (non-interference) urusan dalam negeri suatu negara tersebut sejatinya tidaklah bersifat absolute. Artinya, prinsip tersebut tidak serta merta membatasi dan menghalangi negara lain untuk mendorong adanya perlindungan, penghormatan dan penegakan HAM di suatu negara. Apalagi ketika Perlindungan HAM dan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM tidak pernah menjadi pilihan negara tersebut.

Hal ini disebabkan karena dalam hukum internasional (Erga Omnes) terdapat kewajiban bagi semua negara untuk menunjukan kepeduliannya terhadap segala bentuk pelanggaran HAM. Apalagi yang masuk kedalam kategori pelanggaran HAM berat yang telah disepakati secara universal sebagai musuh bersama seluruh umat manusia (Hostis Humani Generis). Dengan kata lain, persoalan HAM suatu negara akan terus menerus menjadi persoalan kolektif dunia.

Glorifikasi berlebihan

Terhadap kritikan yang disampaikan oleh Republik Vanuatu, Masyarakat indonesia seharusnya mengambil respon yang terbuka. Dan menguji kritikan tersebut secara kritis dan proporsional. 

Karena jika diperhatikan dengan serius, persoalan-persoalan HAM di Papua yang menjadi pokok atau inti dari kritik tersebut sejatinya telah menjadi bagian dari Pendidikan dan diskusi publik di Indonesia yang tidak dapat lagi disembunyikan.

Masyakarat Indonesia tidak boleh terjebak dalam persepsi dan argumentasi bahwa tidak ada pelanggaran HAM di Papua. Karena, berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh sejumlah lembaga non-pemerintah yang melakukan penelitian dan pengkajian secara independen terhadap HAM, seperti Amnesty Internasional Indonesia, Kontras dan ELSAM justru memperlihatkan bahwa telah banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat atau aktor negara terhadap penduduk sipil di Papua. 

Hal serupa juga ditunjukan dari hasil rekomendasi dan penyelidikan projustisia yang dilakukan oleh Komnas HAM yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah kasus yang terjadi di Papua yang telah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Seperti kasus Wasior 2001, Wamena 2003, dan Peristiwa Paniai 2014.  Dimana terhadap kasus-kasus tersebut hingga hari ini belum juga mendapatkan penyelesaian.

Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua tersebut seharusnya dijadikan sebagai referensi dan konfirmasi bahwa kritikan Republik Vanuatu terhadap persoalan HAM Papua tidaklah salah. Dan masyarakat Indonesia tidak seharusnya mengabaikan fakta bahwa Indonesia memang tengah menghadapi persoalan HAM yang sangat kompleks dan serius di Papua, yang tidak hanya dilakukan oleh KKB, tetapi juga oleh aparat atau aktor negara.

Glorifikasi dan apresiasi yang berlebihan terhadap respon dan jawaban yang diberikan oleh Perwakilan Indonesia dalam menanggapi kritikan dari Republik Vanuatu tersebut justru menunjukan insensitivitas masyarakat indonesia terhadap persoalan HAM di Papua yang telah menjadi persoalan yang sangat serius dan telah membentuk trauma kolektif (memoria passionis) bagi masyarakat Papua. 

Seharusnya, masyarakat Indonesia mendukung kritikan tersebut agar penuntasan dan penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM di Papua dapat bergerak maju. 

Disisi lain, Pemerintah Indonesia perlu untuk menjadi lebih terbuka dalam menerima kritik  tersebut tanpa perlu menghubungkannya dengan persoalan kedaulatan negara. 

Kritikan yang disampaikan oleh Republik Vanuatu ini seharusnya menjadi bahan evaluasi dan pendorong bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah yang lebih konkrit dan serius untuk melakukan penegakan hukum yang efektif (effective enforcement) terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. 

Kritikan tersebut seharusnya juga menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk dapat menata ulang kebijakannya, baik dalam segi substansi, struktur dan pendekatannya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua secara demokratis, baik politik, ekonomi, sosial dan keamanan yang mana kesemuanya itu menyangkut pada persoalan HAM yang dilindungi oleh konstitusi (Constitutionally guaranteed rights).

Meskipun tampaknya tidak mudah, tetapi kita harus terus memelihara optimisme bahwa penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM di Papua dapat diselesaikan sehingga dapat memberikan hak atas keadilan bagi Masyarakat Papua. Karena pada akhirnya, tidak akan tercapai Perdamaian yang sempurna jika tidak ada keadilan di sana. SEMOGA

More Articles == Click Here