Ogiandhafiz Juanda S.H., LL.M., C.L.A., C.P.Arb., C.M.L., C.Me., C.M.L.C

Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional dan HAM Universitas Nasional (UNAS)

Direktur Treas Constituendum Institute

Artikel ini dipublish di Media Indonesia – 5 November 2021

Banyaknya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia yang tidak mendapatkan penyelesaian di tingkat nasional, menjadi bukti bahwa Indonesia perlu untuk merumuskan ulang upaya penegakan HAM nasionalnya. Hal itu dapat dimulai dengan melakukan “perbaikan” pada instumen hukumnya yang bersifat khusus (lex specialis) yaitu terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Politik transisi

Dalam konteks pelanggaran HAM, pengadilan HAM merupakan sarana utama yang dapat memberikan keadilan ketika terjadinya pelanggaran HAM tersebut, khususnya terhadap pelanggaran HAM yang menjadi kewenangan atau jurisdiksi dari Pengadilan HAM yang tercantum dalam pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Yaitu kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan. 

Tetapi dalam implementasinya, meskipun Indonesia telah memiliki pengadilan HAM dan juga mekanisme pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc,  banyak kasus pelanggaran HAM yang menjadi kewenangan dari pengadilan HAM tersebut tidak mampu diselesaikan sehingga menyebabkan tidak tercapainya tujuan memberikan hak atas keadilan tersebut.

Hingga saat ini, berkas sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia hanya bolak-balik dari Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM tersebut diantaranya adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari Lampung 1989, rumah Geudong dan Pos Sattis Aceh 1998, Penghilangan Paksa 1997-1998, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998, Simpang KAA 1999 Aceh, Wasior 2001 dan Wamena 2003, Jambu Keupok Aceh 2003, Peristiwa Paniai 2014. 

Meskipun penyelesaiannya sangat kompleks, pemerintahan hari ini memikul tanggung jawab untuk bisa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Dan hal itu tidak hanya mensyaratkan adanya komitmen dan kemauan politik Pemerintah yang saat ini berkuasa, tetapi juga membutuhkan adanya kekuatan politik transisi yang sangat kuat. Apalagi, sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut masih berada dalam dimensi dan jabatan politik di Pemerintahan saat ini.

Dengan tidak adanya penyelesaian terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM, berdampak terhadap lahirnya kasus-kasus pelanggaran HAM baru di Indonesia. Hal itu bermakna bahwa tidak adanya penegakan HAM akan sangat berpengaruh terhadap penghormatan dan perlindungan HAM di kemudian hari.

Padahal, pemajuan, pemenuhan, perlindungan dan penegakan terhadap HAM ini telah diakui secara universal tidak hanya sebagai tanggung jawab yuridis negara, tetapi juga telah menjadi tanggung jawab moral negara yang juga terselip dalam konsepsi negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD 1945.

Dengan kata lain, Negara wajib untuk mengambil langkah yang konkrit agar dapat menyelesaikan persoalan HAM yang terjadi di Indonesia tersebut. Apalagi, pelanggaran HAM telah diakui dan disepakati secara universal sebagai musuh seluruh umat manusia (Hostis Humani Generis)

Perspektif korban

Tidak optimalnya penegakkan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari banyaknya kelemahan substansial yang terdapat dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dimana adanya kelemahan tersebut erat kaitannya dengan proses perumusan dan pembentukannya.

Secara formil, lahirnya UU Nomor 26 Tahun 2000 yang menjadi dasar pembentukan pengadilan HAM merupakan amanat dari Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Tetapi tidak dapat dimungkiri bahwa pembentukan UU tentang Pengadilan HAM tersebut sejatinya merupakan reaksi dari desakan dunia internasional kepada Indonesia untuk dapat mengadili dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-Timur tahun 1999. 

Adanya desakan yang juga datang dari komisi tinggi HAM PBB ini membuat Indonesia harus “mempercepat” adanya pembentukan Pengadilan HAM di tingkat nasional. Hanya saja, hal itu justru membuat perumusan UU tentang pengadilan HAM tersebut menjadi tidak maksimal. Meskipun demikian juga, harus diakui bahwa UU tersebut menjadi langkah penting dalam membentuk sistem perlindungan dan penegakan terhadap HAM secara formal di Indonesia. Dan sekaligus menjadi instrumen hukum yang memperkuat perlindungan HAM nasional setelah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Mandeknya penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (sebelum lahirnya UU 26 Tahun 2000) salah satunya disebabkan karena terdapat ketentuan dalam UU tersebut yang mengharuskan adanya “keterlibatan” DPR dalam menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM berat yang terjadi, sekaligus merekomendasikan adanya pembentukan pengadilan HAM Ad-hoc kepada Presiden.

Prosedur pembentukan pengadilan HAM Ad-hoc untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang digantungkan pada usulan atau rekomendasi dari DPR ini tentu saja menimbulkan permasalahan. Karena pembentukan Pengadilan HAM Ad-hoc tersebut akan menjadi sangat subjektif dan syarat dengan kompromi dan kepentingan politik.

Selanjutnya, adanya intervensi dari DPR dalam menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM berat ini juga menjadikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu menjadi sebuah proses politik ketimbang sebuah proses hukum yang objektif. Dan secara tidak langsung telah mengamputasi peran Pengadilan HAM sebagai lembaga yudikatif yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan ada tidaknya pelanggaran HAM tersebut.

Kelemahan lain dari UU ini juga dapat dilihat dari perspektif korban.  Meskipun dalam UU ini diatur mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM khususnya pelanggaran HAM berat (pasal 35). Tetapi mekanisme pemenuhan hak-hak korban tersebut memiliki keterbatasan yuridis karena sangat bergantung pada aspek dihukumnya pelaku dan bukan karena telah terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut.

Artinya, meskipun hak-hak tersebut telah dinyatakan dengan tegas dalam UU ini, tetapi prosedur yang ada saat ini sangatlah kaku dan menyebabkan hak tersebut tidak dapat dinikmati secepat mungkin oleh korban. (Lihat kasus Tanjung Priok 1984, Timor-Timur 1999 dan Abepura 2000) 

Idealnya, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat itu tidak hanya berperspektif menghukum pelaku (retributive justice), tetapi juga pemulihan terhadap korbannya (restorative justice). Oleh Karena itu, sebagai respon untuk memediasi kepentingan korban dan mengurangi kerugian dan penderitaan korban. Mekanisme pemenuhan hak korban tersebut seharusnya diatur secara terpisah melalui penetapan pengadilan sebagai satu terobosan hukum, dan bukan bergantung pada putusan pengadilan terhadap pelaku yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Dengan demikian, terhambatnya proses hukum terhadap pelaku tidak menjadi alasan terhambatnya proses pemulihan terhadap hak-hak korban.

Rekonstruksi yuridis seperti ini sangat diperlukan untuk dapat menguatkan kedudukan korban. Sehingga, keadilan reparatoris yang diharapkan oleh korban dan keluarganya dapat tercapai. Apalagi kewajiban untuk dapat memastikan korban pelanggaran HAM mendapatkan pemulihan efektif (effective remedy) merupakan kewajiban negara yang tersirat dalam setiap regulasi perlindungan HAM di Indonesia. 

Harapan terakhir

Sejumlah kelemahan yang terdapat dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM ini harus segera dibenahi sebagai wujud komitmen politik hukum Pemerintah Indonesia terhadap perlindungan dan penegakan HAM di tingkat nasional. Dimana politik hukum ini merupakan upaya dalam merumuskan dan mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan saat ini. 

Jangan sampai, perhatian serius Indonesia dalam menempatkan isu HAM sebagai isu yang sentral ini hanya ditunjukan di tingkat internasional melalui perannya di forum-forum Internasional yang salah satunya adalah dengan menjadi anggota Dewan HAM PBB selama 5 periode (2006-2007, 2007-2010, 2011-2014, 2015-2017, 2020-2022).

Perbaikan melalui Revisi terhadap instrumen hukum ini juga harus diikuti dengan segera melakukan ratifikasi terhadap instrumen hukum Internasional yang penting yaitu Statuta Roma 1998 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya Indonesia dalam menegakan HAM nasionalnya di masa mendatang. 

Sehingga, ketika pengadilan HAM Nasional tidak mampu bekerja secara efektif dan menyebabkan terpenuhinya prinsip Admissibility yang di atur dalam Pasal 17 Statuta Roma tersebut yaitu tidak mampu (unable) baik dalam memperoleh bukti, saksi dan tersangka, serta tidak mampu melaksanakan proses peradilan, atau juga tidak ingin (unwilling) untuk melakukan tindakan yang nyata dan konkrit untuk menegakkan keadilan, maka disitulah letak prinsip melengkapi (complementarity Principle) dari Pengadilan Pidana Internasional sebagai harapan terakhir korban untuk mendapatkan Keadilan. 

Berkaca pada banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang tidak mampu diselesaikan hingga hari ini. Maka Pengadilan Pidana Internasional (ICC) yang kedudukannya sebagai institusi komplementer bagi Pengadilan domestik berdasarkan Preambule dan pasal 1 Statuta Roma diharapkan mampu untuk memberikan efektifitas terhadap penegakan hukum bagi pelanggaran HAM di Indonesia di masa mendatang, dan menjadi jalan keluar ketika mekanisme penegakan HAM Nasional di Indonesia kembali mengalami kebuntuan. 

Langkah-langkah tersebut sangat urgen untuk segera dilakukan dengan tujuan tidak hanya untuk memberikan keadilan bagi para korban, tetapi juga untuk dapat menghapuskan praktik-praktik impunitas (kekebalan hukum) terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan memastikan bahwa tidak ada lagi pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan di masa mendatang. SEMOGA!!

More Articles == Click Here