Ogiandhafiz Juanda S.H., LL.M., C.L.A., C.P.Arb., C.M.L., C.Me., C.M.L.C

Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional Universitas Nasional (UNAS)

Direktur Treas Constituendum Institute

Artikel ini dipublish di Koran Sindo – 7 Oktober 2021

 

Intensitas aktivitas kapal-kapal Asing di perairan Natuna Utara yang berada di kawasan Laut China Selatan terus meningkat sejak akhir bulan Agustus 2021. 

Berdasarkan laporan dari nelayan setempat dan Badan Keamanan Laut RI (Bakamla), kapal-kapal Asing tersebut didominasi oleh kapal berbendera China, baik kapal nelayan, kapal perang dan juga kapal coast guard.  Tidak hanya itu, laporan dari Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Imam Prakoso juga menyebutkan adanya aktifitas dari kapal riset milik Pemerintah China yaitu Hai Yang Di Zhi 10 di Perairan Natuna Utara tersebut.

Dalam kacamata publik, tingginya aktivitas kapal-kapal asing di perairan Natuna Utara ini dianggap sebagai sebuah ancaman. Sehingga Pemerintah Indonesia wajib mengambil langkah yang tegas dan konkrit untuk melindungi perairan Natuna Utara yang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif indonesia (ZEEI) tersebut.

Akan tetapi sejauh ini, respon yang ditunjukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap isu perairan Natuna Utara ini tampak masih terlalu lunak sehingga menimbulkan polemik.

Hak berdaulat

Terlepas dari polemik yang ada dalam menanggapi isu perairan Natuna Utara ini. Secara prinsip harus di ketahui bahwa wilayah laut memiliki pendekatan hukum yang berbeda dibandingkan dengan wilayah daratan. Dimana di wilayah laut terdapat perbedaan antara “wilayah hak berdaulat” dan “wilayah kedaulatan” yang kemudian menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda pula. 

Berdasarkan letak geografisnya, Perairan Natuna utara merupakan wilayah laut yang sangat strategis karena tidak hanya memiliki kandungan dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga menjadi jalur pelayaran perdagangan internasional (sea lane of trade) dan juga jalur komunikasi internasional (sea Lane of Communication). Sehingga perairan ini sangatlah vital bagi kepentingan politik dan ekonomi negara Indonesia. 

Dalam ketentuan hukum laut internasional, perairan Natuna Utara ini masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Ketentuan tersebut muncul seiring dengan lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yaitu United Nations Convention for the Law of The Sea (UNCLOS 1982) dan juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982.

Konsepsi mengenai ZEE ini diatur dalam pasal 55 UNCLOS 1982 dan juga diadopsi ke dalam pasal 2 UU Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia yang menyatakan bahwa ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya, dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah. 

Dimana untuk zona ini, Indonesia sebagai negara pantai diberikan hak berdaulat (Sovereign right) dan yurisdiksi yang sifatnya eksklusif.

Dengan diakuinya hak berdaulat di wilayah ZEE tersebut, Indonesia dapat melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, serta konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati, dan sumber daya laut lainnya yang berada di Zona Ekonomi Eksklusif ini sesuai dengan pasal 56 ayat (1) huruf a UNCLOS 1982 dan pasal 4 ayat (1) UU nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dengan tetap berkewajiban untuk menjaga dan menjamin kelestarian dan keberlangsungan lingkungan laut dan sumber daya alamnya (maximum sustainable yield). 

Selain itu, Konvensi hukum laut ini juga menentukan batasan yurisdiksi yang dapat dilakukan dan dinikmati oleh Indonesia terhadap wilayah ZEEnya tersebut yaitu untuk melakukan riset ilmiah kelautan, dan juga membuat instalasi, bangunan dan pulau buatan. 

Dengan demikian, keberadaan kapal-kapal Asing di wilayah ZEE Indonesia ini seharusnya tidaklah menjadi suatu persoalan sepanjang tidak menggangu kepentingan indonesia dalam melaksanakan hak berdaulat dan yurisdiksinya tersebut.

Akan tetapi terhadap kapal berbendera China, “perhatian” khusus tampaknya harus diberikan. Hal ini dikarenakan Pemerintah China mengeluarkan sembilan Garis putus-putus (nine dash line) yang memanjang dari pantai selatannya hingga sebagian besar wilayah laut di Laut China Selatan termasuk wilayah Perairan Natuna Utara yang kemudian diklaim sebagai wilayah lautnya. Sehingga “perhatian” khusus terhadap keberadaan kapal-kapal china ini menjadi sangat relevan. 

Meskipun nine dash line yang merupakan klaim sepihak (unilateral claim) dari negara China ini telah dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang diatur dalam UNCLOS 1982 berdasarkan putusan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda pada tahun 2016. Namun Pemerintah China tetap merasa memiliki hak atas wilayah yang terdapat dalam nine dash line tersebut berdasarkan kesejarahan (historic rights) dan menyatakan bahwa perairan tersebut sejak dulu adalah wilayah penangkapan ikan mereka (traditional fishing ground). 

Padahal UNCLOS 1982 tidak mengenal adanya konsep traditional fishing ground tersebut dan hanya mengakui adanya hak penangkapan ikan secara tradisional (traditional fishing rights) yang dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian bilateral.

Efek Jera

Sebagai bentuk kompromi, Konvensi Hukum laut internasional tidak hanya memberikan pengakuan terhadap hak berdaulat dan yurisdiksi eksklusif negara Pantai atas wilayah perairan yang masuk dalam ZEE-nya. Tetapi juga mengakui hak-hak dan kebebasan yang dimiliki oleh negara lain dalam melakukan aktifitas di wilayah ZEE suatu negara. 

Hal tersebut merupakan bentuk pelaksanaan hak dan jaminan kebebasan pelayaran dan penerbangan (Freedom of Navigation and Overflight) dan juga kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (Freedom of the Laying of submarine cables and pipelines) berdasarkan pasal 58 ayat 1 UNCLOS 1982 dan juga pasal 4 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia. 

Sehingga, tidak adanya upaya penindakan dari pemerintah Indonesia terhadap kapal-kapal asing yang berada dan melintasi perairan Natuna Utara ini disebabkan karena hak lintas dan pelayaran tersebut bukanlah sebuah bentuk pelanggaran berdasarkan hukum internasional, dan hal inilah yang harus dipahami oleh masyarakat Indonesia.

Akan tetapi, laporan tentang keberadaan kapal-kapal Asing, termasuk kapal China di wilayah ZEE indonesia ini tidak boleh kemudian diabaikan begitu saja.  Apalagi melihat bukti dan fakta bahwa kegiatan illegal seperti pencurian ikan dan penjarahan sumber daya laut yang dilakukan oleh kapal-kapal Asing di wilayah perairan ZEE Indonesia telah terjadi sejak lama secara berulang kali. Sehingga persoalan penegakan hak berdaulat (sovereign right) ini harus tetap dijadikan sebagai isu yang krusial dan penting. 

Meskipun bisa saja kapal-kapal China menganggap bahwa apa yang dilakukannya merupakan bentuk pelaksanaan dari hak lintas yang dilindungi oleh Konvensi hukum laut internasional. Akan tetapi, secara etika, kegiatan yang berlebihan yang melibatkan sejumlah kapal perang dan coast guard di perairan ZEE indonesia tersebut secara terus menerus dapat dimaknai sebagai bentuk konfrontasi yang tidak menghormati hak berdaulat dan yurisdiksi negara Indonesia. 

Dimana hal tersebut juga dapat memicu ketegangan dan menimbulkan ketakutan kepada nelayan-nelayan indonesia dalam mengakses sumber daya alam di perairan ZEE Indonesia tersebut.

Padahal, Kapal-Kapal China tersebut berkewajiban untuk menghormati hak berdaulat dan yurisdiksi negara Indonesia di perairan ZEE Indonesia tersebut secara maksimal sebagai bentuk realisasi yuridis dari pasal 58 ayat (3) UNCLOS 1982.

Sedangkan terhadap kapal riset China yaitu Hai Yang Di Zhi 10 yang diduga kuat sedang melakukan riset atau penelitian di wilayah perairan Natuna Utara, Hal ini harus dijadikan perhatian yang serius, mengingat Pemerintah china masih bersikeras dengan klaim 9 garis putus-putusnya (Nine Dash Line).

Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu meminta penjelasan kepada pemerintah China perihal keberadaan kapal risetnya di wilayah perairan ZEE indonesia tersebut.  Karena berdasarkan UNCLOS 1982 yang juga telah diratifikasi oleh negara China, tindakan kapal-kapal China selain yang bertalian dengan hak dan kebebasan di wilayah ZEE yang tercantum dalam Pasal 58 ayat 1 UNCLOS 1982 dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak sejalan dengan ketentuan dalam Konvensi. 

Sehingga, apabila kapal riset tersebut benar melakukan kegiatan riset di perairan ZEE Indonesia, apalagi yang dilakukan tanpa izin atau persetujuan dari pemerintah indonesia, maka tindakan tersebut selain tidak sah menurut hukum internasional, juga bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan Negara Indonesia yaitu Pasal 7 UU Nomor 5 Tahun 1983 yang mengatur tentang kegiatan penelitian ilmiah di ZEE Indonesia. 

Dan Pemerintah Indonesia harus berani untuk mengambil satu tindakan tegas sehingga dapat memberikan efek jera (deterrent effect) dan mencegah terjadinya pelanggaran yang sama di kemudian hari. 

Kesadaran Geografis

Kedepan, mengingat banyaknya kegiatan “illegal” yang terjadi di wilayah ZEE Indonesia  dan juga dalam rangka “mengamankan” hak berdaulat Indonesia di ZEE nya tersebut. Pemerintah Indonesia perlu untuk terus mengefektifkan fungsi dan peran Badan Keamanan Laut, TNI AL-AU, KKP dan unsur penunjang lainnya dalam kegiatan pengelolaan, pengembangan, pengawasan, pemberdayaan dan pemanfaatan terhadap perairan ZEE tersebut secara konsisten, maksimal dan berkesinambungan dengan nelayan sebagai pilar utamanya. Termasuk juga melakukan penguatan terhadap alut sista di Matra lautnya tersebut.

Hal itu juga penting untuk dilakukan dalam rangka mengantisipasi konflik yang mungkin timbul di kemudian hari di wilayah laut tersebut. Karena secara geografis, perairan Natuna Utara berada di wilayah Laut China Selatan yang merupakan wilayah yang akan terus memiliki potensi konflik karena menjadi titik temu dan bersinggungan langsung dengan batas-batas ZEE negara-negara lainnya. 

Barangkali kita ingat salah satu bait syair lagu yang mengatakan bahwa “nenek moyangku seorang pelaut”. 

Lirik lagu tersebut mengandung makna filosofis bahwa bangsa Indonesia harus bisa menunjukan identitasnya kepada dunia sebagai sebuah negara maritim yang tangguh. Untuk itu, Indonesia harus bermindset maritim yaitu harus mampu menciptakan kebijakan dan tata kelola kelautan yang lebih baik sebagai wujud kesadaran geografis indonesia (geographical awareness) menjadi negara kepulauan (Archipelagic State). 

Seperti juga apa yang dikatakan oleh Sir Walter Releigh bahwa “siapa yang menguasai lautan akan menguasai perdagangan dunia dan akhirnya akan menguasai dunia”, yang bermakna bahwa kawasan laut memiliki arti yang sangat penting. 

Sehingga, dengan karakter geografis yang ada, pembangunan kekuatan laut (sea power) menjadi hal yang sangat penting. Hal tersebut dilakukan tidak hanya untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi kelautan indonesia, tetapi juga untuk menjamin pertahanan, keamanan dan kepentingan nasional di laut. Karena di laut kita jaya, JALESVEVA JAYAMAHE.

More Articles == Click Here