Ogiandhafiz Juanda S.H., LL.M., C.L.A., C.P.Arb., C.M.L., C.Me., C.M.L.C

Advokat, dosen, dan pengamat hukum internasional & HAM Universitas Nasional, Direktur Treas Constituendum Institute, Master Hukum Internasional dan Keadilan Global Universitas Sheffield, UK

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/478687/konflik-rusia-ukraina-hukum-internasional-bisa-apa

Artikel ini dipublish di Media Indonesia – 17 Maret 2022

KONFLIK RUSIA-UKRAINA : HUKUM INTERNASIONAL BISA APA?

Pada hari kamis tanggal 24 Februari 2022, Eropa terbangun dengan adanya berita tentang  serangan militer Rusia ke Ukraina. Serangan militer dengan skala penuh tersebut dilancarkan ke sejumlah wilayah di Ukraina seperti Kyiv dan Kahrkiv.  Hal tersebut dilakukan setelah adanya pengakuan Moskow terhadap 2 Wilayah di Timur Ukraina yaitu Luhansk dan Donetsk sebagai wilayah yang merdeka 3 hari sebelumnya.

terus bermanuver

Serangan konvensional menggunakan kekuatan bersenjata ini merupakan puncak ke-2 dari ketegangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina sejak pecahnya Uni Soviet pada tahun 1991. Karena pada tahun 2014, Rusia dan Ukraina juga terlibat dalam konflik bersenjata di wilayah yang juga berada di bagian timur Ukraina yaitu Krimea.

Setelah adanya aneksasi atau pendudukan yang dilakukan oleh Rusia terhadap Krimea pada tahun 2014 tersebut (Lihat Resolusi Majelis Umum PBB 68/262), ketegangan antar kedua negara ini sempat “membeku” dan pada akhirnya kembali mencair menjadi perang terbuka seperti apa yang sedang berlangsung saat ini.

Dengan kata lain, konflik Rusia-Ukraina ini tidaklah terjadi secara kebetulan dan tiba-tiba.  Ada sejumlah faktor eksternal dan internal disertai alasan-alasan politis yang begitu kompleks yang menjadi sebab musabab kenapa Rusia dan Ukraina berada dalam pusaran konflik selama betahun-tahun lamanya.

Yang terbaru adalah adanya keinginan Pemerintah Ukraina untuk bergabung dengan NATO seperti apa yang sudah dilakukan oleh 2 negara tetangganya yaitu Polandia dan Rumania. Bagi Moskow, rencana Ukraina untuk mengambil langkah politik tersebut dianggap “terlalu berani” dan dapat membahayakan dominasi militer dan hegemoni politik regional Rusia khususnya di wilayah Timur dan Pasifik Utara.

Jika itu benar-benar terlaksana, maka masuknya Ukraina ke dalam keanggotaan NATO dianggap akan menjadi hambatan besar bagi ruang gerak geopolitik Rusia. Karena nantinya, posisi militer NATO akan benar-benar berada langsung dengan perbatasan Rusia. Dan hal tersebut dalam kacamata Rusia akan sangat membahayakan kepentingannya.

Saat ini, situasi di Ukraina begitu mengkhawatirkan. Serangan Militer yang dilakukan oleh Rusia ke Ukraina ini telah menyebabkan terjadinya pengungsian besar-besaran dan juga hilangnya ratusan nyawa penduduk sipil Ukraina yang tidak bersalah. Tidak hanya itu, Krisis Rusia-Ukraina ini juga telah menghadirkan instabilitas dan bencana ekonomi dan geopolitik di seluruh kawasan.

Bagi Ukraina, apa yang dilakukan oleh Rusia ini tidak sedikitpun dapat dicerna dengan akal sehat. Tindakan tersebut tidak hanya menghadirkan tragedi yang memilukan bagi penduduk Ukraina, tetapi juga telah memicu ancaman paling serius bagi perdamaian dan keamanan khususnya di wilayah Eropa.

Meskipun telah banyak negara di dunia yang dengan tegas mengutuk dan mengecam tindakan Rusia ke Ukraina, akan tetapi hal tersebut tidak sama sekali dapat menghentikan Rusia untuk terus bermanuver.

Aturan internasional

Hingga sangat tulisan ini dibuat, Rusia masih terus melancarkan serangan militernya ke wilayah Ukraina. Konsekuensi dari Serangan militer tersebut sangatlah besar dan telah menyebabkan kehancuran yang begitu masif dan fatal pada sejumlah infrastruktur vital dan penting di Ukraina, termasuk fasilitas-fasilitas publik yang bukan merupakan objek militer Ukraina.

Kebijakan politik Rusia untuk mengambil tindakan militer ke wilayah Ukraina dengan menggunakan pasal 51 Piagam PBB tentang hak pembelaan diri (right to self-defence) tidak sama sekali didukung oleh fakta, argumentasi atau dasar hukum yang sah dan jelas. Serangan militer tersebut justru merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara dan integritas teritorial Ukraina yang tidak sedikitpun dapat dibenarkan.

Hal tersebut bertentangan dengan Prinsip dan Ketentuan yang terdapat di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu pasal 1 ayat (1), pasal 1 ayat (2) , pasal 2 ayat (3), pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang semuanya secara eksplisit mengakui kedaulatan sebagai hal utama dalam hubungan internasional dan menyerukan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional melalui pembatasan penggunaan kekerasan bersenjata terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara mana pun.

Tidak hanya itu, tindakan tersebut juga merupakan pelanggaran serius terhadap sejumlah aturan hukum internasional kontemporer lainnya, seperti hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia internasional, termasuk juga moralitas internasional.

Lebih jauh lagi dalam hukum internasional, tindakan Rusia terhadap Ukraina di Krimea pada tahun 2014 dan apa yang dilakukannya pada saat ini telah dapat dikualifikasikan sebagai tindakan Agresi (act of aggression), baik dalam arti teknis maupun substantif.

Definisi Agresi itu sendiri telah dibingkai oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1974 sebagai “serangan oleh angkatan bersenjata suatu negara atas wilayah negara lainnya, atau pendudukan militer atau pencaplokan dengan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap wilayah atau bagian negara lainnya”. Dan tindakan Rusia baik di Krimea tahun 2014 maupun di Ukraina saat ini telah mewakili kriteria yang diuraikan dalam definsi tersebut.

Selanjutnya, secara objektif juga dapat dikatakan bahwa serangan militer tersebut juga terindikasi sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap standar hukum humaniter internasional. Serangan di hampir seluruh negeri Ukraina yang telah menewaskan lebih dari 550 orang penduduk sipil Ukraina yang tidak bersalah ini berdasarkan laporan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) merupakan pelanggaran langsung terhadap konvensi Jenewa 1949. Khususnya Konvensi Jenewa IV yang secara spesifik mengatur tentang perlindungan kepada warga sipil.

Serangan tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 51 ayat (5) huruf (b) Protokol Tambahan I tahun 1977 yang melarang segala macam bentuk serangan yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil, cedera pada warga sipil, dan kerusakan objek sipil.

Menjaga optimisme

Terlepas dari analisis hukum di atas. Tentu saja serangan militer rusia ini harus segera dihentikan. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah mekanisme seperti apa yang dapat dilakukan ketika masyarakat internasional tidak mempunyai banyak pilihan? Karena Gelombang kecaman, dan tekanan global serta sanksi internasional dari masing-masing negara terhadap Rusia nampaknya tidak berimplikasi apapun terhadap penghentian serangan tersebut.

Keberadaan Dewan Keamanan PBB juga nyatanya tidak berdaya untuk dapat melaksanakan mandat dari Bab VII Piagam PBB untuk dapat mengambil tindakan dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Hal itu disebabkan karena Rusia memiliki kursi tetap di DK PBB yang dapat menggunakan hak vetonya terhadap segala bentuk rancangan resolusi yang akan mengutuk Serangannya terhadap Ukraina.

Serangan miiter Rusia ke Ukraina ini juga menjadi bukti terbaru yang dapat menunjukan bahwa Veto menjadi suatu kelemahan tertentu dari hukum internasional kontemporer dalam “menindak”. Karena sebelumnya juga banyak tindakan serupa yang dilakukan oleh negara besar terhadap negara lainnya seperti krisis Israel-Palestina yang tidak mampu diselesaikan hingga hari ini.

Sehingga desain politik tentang Hak veto tersebut tampaknya perlu direformasi, tujuannya untuk mencegah tindakan lainnya di masa depan yang dilakukan oleh negara pemegang hak veto dan negara sekutunya yang dapat mengancam keamanan dan perdamaian internasional.

Hal ini harus dijadikan perhatian yang serius, jangan sampai keberadaan hak veto tersebut menjadi kontra produktif dengan tujuan pendirian PBB dan membuat negara-negara adidaya (super power) menjadi kebal terhadap segala tindakannya yang dapat mengancam keamanan dan perdamaian internasional.

Selanjutnya, Ukraina juga dapat “melembagakan” krisis ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) melalui mekanisme “provisional measures”. Namun, jika keputusan ICJ tersebut ternyata nantinya menguntungkan Ukraina, penegakan keputusan tersebut masih memerlukan dukungan Dewan Keamanan PBB, dan hal tersebut rasanya tidak mungkin akan terjadi.

Akan tetapi, terlepas dari segala keterbatasan dalam sistem dan penegakan hukum internasional tersebut, optimisme akan adanya penyelesaian terhadap krisis Rusia-Ukraina ini harus terus dijaga. Masyarakat internasional harus bisa memainkan perannya untuk dapat membantu meredakan krisis dengan melakukan segala tindakan efektif apapun. Termasuk juga dengan menggunakan “pengaruhnya” dan kekuatan diplomatiknya untuk terus mendorong Rusia-Ukraina menuju negosiasi gencatan senjata dan perdamaian atas dasar kemanusiaan.

Karena, serangan militer yang terus berlanjut ini akan sangat berpotensi menyebabkan penderitaan dan kerusakan yang jauh lebih besar lagi. Tidak hanya bagi penduduk Ukraina, tetapi juga  terhadap stabilitas dan tatanan internasional.

Pada akhirnya, sebagai penutup, masyarakat internasional harus terus berharap agar Rusia mau untuk mendengarkan suara kolektif dari masyarakat internasional untuk segera menghentikan tindakan militernya tersebut dan kembali pada prinsip-prinsip dasar pengakuan terhadap kedaulatan suatu negara dan menempatkan kembali perdamaian dan ketertiban internasional sebagai prioritas yang paling utama. SEMOGA!