Ogiandhafiz Juanda S.H., LL.M., C.L.A., C.P.Arb., C.M.L., C.Me., C.M.L.C
Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional Universitas Nasional (UNAS)
Direktur Treas Constituendum Institute
Artikel ini dipublish di Media Indonesia – 5 September 2021
TALIBAN telah mengambil kembali kontrol pemerintahan di Afganistan pada 17 Agustus 2021. Hal tersebut ditandai dengan telah dikuasainya sebagian besar wilayah di Afganistan termasuk Kabul yang menjadi wilayah yang paling sentral dan merupakan pusat pemerintahan Afganistan.
Pengambilalihan kontrol pemerintahan oleh Taliban itu tidak mendapatkan hambatan dan perlawanan yang berarti dari pasukan Pemerintah pimpinan Presiden Ashraf Ghani. Bahkan hal tersebut dilakukan dalam waktu yang relatif sangat cepat. Hal tersebut juga terjadi seiring dengan adanya penarikan pasukan oleh Amerika Serikat (AS) dan NATO dari wilayah Afganistan setelah 20 tahun ‘menguasai’ negara tersebut. Juga, karena AS dan NATO mengklaim bahwa misi kontraterorisme mereka di sana telah selesai.
Keputusan AS dan NATO untuk menarik pasukan mereka dari wilayah Afganistan tersebut tentu menjadi angin segar bagi faksi politik ultrakonservatif (Taliban) tersebut, untuk mencoba mengambil kembali kekuasaan mereka atas Afganistan sebelum diinvansi oleh AS dan NATO pada 2001. Akan tetapi, kembalinya kontrol pemerintahan di bawah kekuasaan Taliban ini tentu saja menimbulkan sejumlah pertanyaan filosofis, hukum dan politik tentang bagaimana status Taliban, dan hal tersebut tentu menarik untuk dianalisis.
Untuk menjawabnya, penting untuk mengurainya dengan mulai melihat kembali sejarah invasi militer yang dilakukan oleh AS dan NATO terhadap Afganistan di 2001. Penggulingan pemerintahan Taliban dengan invasi militer oleh AS dan NATO, didasari dugaan bahwa Taliban dianggap melindungi pimpinan Al-Qaeda Osama Bin Laden yang dituduh mendalangi serangan terhadap menara kembar WTC, New York pada 11 September 2001.
Meskipun tuduhan itu tidak dapat dibuktikan, AS dengan dukungan NATO tetap melakukan invasi ke Afganistan pada Oktober 2001 dengan nama Operasi Enduring Freedom dan dengan dasar war on terror. Dalam pelaksanaannya, invasi tersebut pada kenyataannya justru banyak melanggar ketentuan dalam hukum internasional dan beberapa aturan dalam doktrin hukum internasional, khususnya ditinjau dari hukum Jenewa dan Statuta Roma pasal 8.
Invasi militer tersebut tidak hanya merebut legitimasi dan kekuasaan politik Taliban atas Afganistan, tetapi juga menyebabkan collateral damage dengan jatuhnya banyak korban jiwa dari kelompok penduduk sipil yang tidak bersalah. Setidaknya sudah lebih dari 100 ribu penduduk sipil Afganistan yang menjadi korban atas invasi militer ini. (UN News, 2020)
Operasi militer tersebut juga telah menyebabkan kerusakan yang masif dan meluas terhadap objek-objek sipil dan memaksa ribuan penduduk sipil untuk mengungsi keluar dari wilayah Afganistan. Hal ini tentu saja tidak dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional dan merupakan pelanggaran terhadap asas proporsionalitas dalam hukum humaniter internasional.
Tidak sah
Sejak awal, invasi militer yang telah berlangsung selama kurang lebih dua dekade tersebut telah menciptakan kontroversinya sendiri dan justru mendapatkan banyak kecaman internasional. Dalam literatur hukum internasional, invasi militer tidak memiliki legalitas dan merupakan sebuah kesalahan fundamental. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 2 (4) piagam PBB yang melarang penggunaan kekuatan militer terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
Memang betul bahwa larangan tersebut tidak bersifat mutlak, itu karena Piagam PBB telah dengan sendirinya juga memberikan dua pengecualian. Ada pun pengecualin itu; penggunaan kekerasan atau kekuatan militer dapat dimungkinkan sebagai bentuk pembelaan diri (self-defence) yang sah, baik individu atau kolektif berdasarkan piagam PBB pasal 51 atau dilakukan berdasarkan otorisasi oleh Dewan Keamanan PBB. Dengan catatan bahwa mekanisme damai melalui dialog dan diplomasi harus lebih dulu dilakukan sebelum mempertimbangkan tindakan perang atau pendekatan agresif lainnya.
Sementara invasi militer yang dilakukan oleh AS-NATO tidak memenuhi dua pengecualian tersebut, dan merupakan sikap unilateral yang mengesampingkan aturan hukum internasional dan juga peran PBB secara eksplisit. Invasi tersebut juga hanya didasarkan pada joint resolution 18 September 2001 yang tidak menjadi dasar hukum (legal rationale) yang kuat. Sehingga bisa dikatakan bahwa invansi militer tersebut tidak sah, tidak dapat dibenarkan, dan juga telah melampaui ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Dengan demikian, invansi AS-NATO ke Afganistan di 2001 tersebut tidak hanya menimbulkan tragedi kemanusian dan krisis humaniter yang luar biasa di wilayah tersebut. Tetapi juga, merupakan bentuk pengambilalihan paksa kontrol pemerintahan dari tangan Taliban sebagai penguasa yang sah dan berdaulat. Sehingga, menjadi rasional kalau kemudian Taliban mencoba kembali mengambil kontrol pemerintahan di Afganistan setelah AS-NATO menarik pasukannya dari sana.
Taliban baru
Sebelum invasi AS-NATO pada 2001, Taliban secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 hingga 2001. Pada waktu itu faksi politik ini mendapatkan pengakuan diplomatik dari tiga negara Uni Emirat Arab, Pakistan dan Arab Saudi. Akan tetapi, gaya dan konsep pemerintahan yang diusung Taliban memang tidak populer, justru mendapatkan kritik dan pertentangan.
Hal itu terjadi karena pemerintahan Taliban dianggap banyak melakukan aksi pelanggaran HAM di sejumlah wilayah Afganistan, terutama pada kelompok perempuan dan minoritas.
Sehingga wajar saja kalau kemudian kembalinya Taliban menguasai Afganistan tidak seluruhnya didukung oleh penduduk. Itu karena pandangan yang bersifat spekulatif bahwa Taliban akan mengusung kembali konsep pemerintahan seperti sebelum invasi militer terjadi. Yaitu dengan menerapkan aturan yang sangat ketat dan juga pembatasan-pembatasan terhadap hak perempuan dan minoritas.
Akan tetapi, penting rasanya untuk lebih dahulu menjaga kondisi ‘gencatan senjata’ ini secara permanen. Dengan terus berharap bahwa ‘Taliban baru’ akan menjaga komitmennya untuk membawa perubahan pada Afganistan menjadi negara yang damai dan adil. Aspek yang paling penting adalah Taliban harus mampu membuktikan kepada dunia bahwa mereka mampu keluar dari kebijakan masa lalunya dan menjadi lebih inklusif dengan memberikan perlindungan, perlakuan dan kesempatan yang adil kepada seluruh warga sipil tanpa terkecuali, termasuk pada kelompok minoritas.
Termasuk segera menyusun bentuk pemerintahan yang baru serta segera membangun hubungan dan kerja sama internasional dengan negara lain dalam konteks politik atau ekonomi. Serta segera turut untuk terlibat aktif dalam menjaga kestabilan kawasan, perdamaian dan keamanan dunia. Pada Akhirnya, memang dibutuhkan bulanan atau tahunan untuk membuktikan bagaimana manuver politik ‘Taliban baru’ ini.
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/430539/taliban-dalam-analisis-hukum-internasional